WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 18 November 2012

SEJARAH PENDIDIKAN AUTIS

Sejarah Autisme
Temple Grandin memang bukanlah manusia autis pertama. Ia bukan pula satu-satunya individu autistik yang berhasil mandiri dan berdiri sejajar dengan manusia normal lainnya. Tapi perjalanan hidupnya menjadi penting dalam menyusuri perjalanan sejarah autis. Grandin berhasil mengukir prestasi gemilang dalam hidupnya di tengah berbagai keterbatasan sebagai seorang autis.

Inilah mengapa membicarakan sejarah autis tanpa melihat Temple Grandin bukanlah sebuah upaya yang bijak. Dengan melihat perjalanan hidup Grandin, definisi dan dampak autis seolah tidak lagi angker.

Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti sendiri. Hal ini ditujukan pada seseorang yang mempunyai gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Pada umumnya, penyandang autis mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial, baik pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak sebayanya dan sebagainya.
Autisme ditemukan pertama kali oleh seorang ahli kesehatan jiwa bernama Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner menjabarkan tentang 11 pasien kecilnya yang berperilaku aneh yaitu asyik dengan dirinya sendiri, seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri dan menolak berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.

Kanner menggunakan istilah “autism” yang artinya hidup dalam dunianya sendiri. Kanner berhipotesa bahwa pada anak autis terjadi gangguan metabolisma yang telah dibawa sejak lahir. Namun karena pada masa itu alat-alat kedokteran tidak memungkinkan Kanner melakukan penelitian, maka hipotesanya belum dapat dibuktikan.

Kira-kira setahun kemudian Hans Asperger (1906-1980) menemukan gambaran yang hampir mirip dengan autisme pada remaja dan akhirnya disebut sebagai sindroma Asperger. Beberapa literatur memasukkan sindroma ini ke dalam subkategori autisme, namun masih merupakan perdebatan apakah sindroma ini dapat dimasukkan ke dalam salah satu jenis autisme ataukah merupakan jenis yang berdiri sendiri.

Pada awal perang dunia II seorang Yahudi dari Wina bernama Bruno Bettleheim, mengaku dirinya seorang ahli pendidikan dan psikolog lulusan Wina bahkan ia mengaku sebagai murid dr. Sigmunt Freud di Amerika. Bettleheim dipercaya mengelola sekolah dan asrama untuk anak-anak gangguan kejiwaan.

Menurutnya, anak-anak autis adalah anak-anak yang ditolak keluarga, terutama sang ibu. Pandangan ini sempat menyebar luas. Tapi kemudian dibantah karena ternyata orangtua dari anak autis sangat menyayangi anaknya. Teori Bettleheim ini kemudian ditolak mentah-mentah. Bahkan belakangan Bettleheim meninggal karena bunuh diri. Diketahui pula bahwa Bettleheim bukanlah ahli pendidikan, psikolog, apalagi murid Sigmunt Freud.

Pada tahun 1964, Benhard Remland seorang psikolog dan ayah seorang autis berhipotesa bahwa kelainan susunan saraf pusat mungkin melandasi gejala autisme. Pada tahun 1950, Margareth Bauman dari Departement of Neurology, Harvard Medicene Scholl, dan Erik Courchense dari Departement of Neurosains, University of California, San Diego, menemukan kelainan susunan saraf pusat (SSP) pada beberapa tempat dari anak autis.

Kelainan itu berupa pengecilan Cerebellum (otak kecil) terutama Lobus VI-VII. Lobus VI-VII berisi sel-sel Purkinje, yang memproduksi Neurotransmiter Cerotonin. Pada anak autis, jumlah sel Purkinje sangat kurang, akibatnya produksi Cerotonin berkurang sehingga penyaluran rangsang/informasi antar sel otak kacau.

Selanjutnya ditemukan pula kelainan struktur pada pusat emosi dalam otak (sistem limbik), yang bisa menerangkan kenapa emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini membantu para dokter untuk memberikan terapi yang bekerja pada SSP dan mampu memperbaiki emosi, proses pikir dan perilaku. Hasilnya, anak menjadi lebih mudah bekerja sama sehingga terapi lain dapat berjalan.

Pada tahun 1997, seorang anak autis dapat “sembuh” setelah diberikan sekretin (hormone perangsang pankreas sehingga lancer memproduksi enzim peptidase). Selanjutnya banyak orangtua memburu sekretin untuk anak autisnya, tapi tidak semua berhasil baik. Hal ini menunjukkan bahwa pencetus autisme pada masing-masing anak berbeda-beda.

Pada tahun 1998, seorang dokter ahli pencernaan bernama dr. Andrew Wakefield, yang berkebangsaan Inggris, dengan endoskopi menjumpai peradangan usus pada kebanyakan anak autis, yang disebabkan karena virus campak yang sama dengan virus campak yang disuntikkan melalui vaksinasi MMR. Akibatnya, sejak saat itu banyak orangtua yang menolak imunisasi MMR pada anaknya. Atas hasil penelitiannya, dokter Wakefield dipecat dari Royal College Hospital.

Namun di saat yang hampir bersamaan, beberapa orang di Amerika melakukan riset yang hampir sama dengan Wakefield. Berdasarkan hasil riset tersebut, maka dilakukan juga riset mengenai terapi diet untuk anak autis. Sementara itu dokter Wakefield pindah bekerja sebagai kepala bagian riset di International Child Development Resource Centre di Florida.

Pada tahun 2000, Sallie Bernard, ibu seorang anak autis meneliti vaksin yang memakai Themerosal dan menemukan bahwa gejala anak autis hampir sama dengan gejala keracunan merkuri. Sampai sekarang penelitian tentang autisme terus berkembang seiring dengan makin meningkatnya penemuan anak-anak autis. Berdasarkan Centre of Disease Control and Prevention (CDC), sekarang 1 di antara 166 kelahiran anak di Amerika berada dalam spektrum autisme. Peningkatan kasus ini juga terjadi di Indonesia.

Perkembangan Autisme di Indonesia
Setiap tahun jumlah penderita autis di Indonesia terus mengalami peningkatan. Kementerian Kesehatan (dulu Departemen Kesehatan) mencatat, angka penderita autis di Indonesia tahun 2004 sebanyak 475 ribu penderita. Dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir, menderita autis.

Walaupun autis telah ditemukan sejak tahun 1943, namun penyebab pasti akan gangguan yang menyebabkan seorang anak memiliki kelemahan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial dan berimajinasi dengan orang lain ini, masih belum diketahui. Terbatasnya informasi soal autis ini membuat banyak orangtua seringkali keliru dalam memahami dan menangani anaknya yang autis.

Sejauh ini banyak disebut soal penyebab timbulnya autis. Mulai dari faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, misalnya ikan laut, dan sayuran yang masih mengandung pestisida, keracunan logam berat, virus dari vaksin, alergi, dan lain-lain. Namun secara ilmiah medis, belum ada kesepakatan soal penyebab autis ini. Sebagian para ahli menduga adanya faktor genetis, tetapi ini pun belum ada bukti ilmiah yang sahih.

Sementara, gejala autisme yang menyerang Indonesia muncul sekitar tahun 1990. "Gejala ini muncul pada siapa saja, tidak peduli ras, pendidikan maupun golongan ekonomi sosial," kata Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dr. Melly Budhiman saat menjadi pembicara pada seminar tentang autisme di Graha Sucofindo, pertengahan April lalu. Menurutnya, kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang autisme membuat penanganan yang dilakukan tidak maksimal. Padahal autisme membutuhkan penanganan jangka panjang, tidak bisa main instan alias cukup sekali datang.

YAI melihat kurangnya tenaga profesional dalam menangani anak autis di Indonesia menjadi salah satu penyebab penanganan yang tidak maksimal. Hal ini masuk akal, sebab negeri ini baru mempunyai 40 psikiater anak yang khusus menangani masalah autisme. YAI sendiri memandang penting upaya sosialisasi mengenai autisme sehingga masyarakat bisa memahami secara benar informasi dan penanganannya. Serta dapat mengedukasi masyarakat yang belum mengerti autisme, sehingga tidak ada lagi penghinaan, ejekan, maupun pelecehan terhadap para penyandang autis.

Penanganan autisme di Indonesia berjalan lambat, juga karena banyaknya permasalahan lain yang dihadapi. Permasalahan autisme di Indonesia terbilang rumit. Geografi negara kepulauan ini tidak mendukung untuk dapat menjangkau anak-anak autistik di pulau-pulau yang jauh dari pulau Jawa. Masyarakat Indonesia yang multietnis dan multikultur menyebabkan penanganan autisme sangat beragam.

Sementara para profesional yang mengerti autisme selain jumlahnya masih sangat sedikit, juga terkumpul di kota-kota besar di pulau Jawa. Selain itu, biaya terapi yang mahal dan berkepanjangan menjadi tidak terjangkau oleh golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Lebih parah lagi, pendidikan untuk anak autistik belum bisa dilaksanakan dengan baik karena kurangnya kesiapan sekolah-sekolah, dengan guru yang belum terdidik dalam menangani anak berkebutuhan khusus.

Sementara peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional, belum bisa berbuat banyak untuk anak-anak autistik di Indonesia. Kementerian Kesehatan masih terlalu sibuk dalam menangani kasus-kasus yang lebih gawat, yang bisa menyebabkan kematian, seperti flu burung, flu babi, anak-anak yang busung lapar, dan lain sebagainya.

Anak autistik tidak mendapat prioritas oleh karena keadaannya tidak gawat dan autisme tidak menyebabkan kematian. Yang tidak terpikirkan oleh pemerintah adalah bahwa bila mereka tidak ditangani dengan benar maka anak tersebut akan menjadi sosok dewasa yang tidak bisa mandiri dan menghidupi diri sendiri. Ia akan menjadi beban bagi keluarganya maupun pemerintah.

Sementara Kementerian Pendidikan Nasional memang telah mengeluarkan himbauan pada semua sekolah umum untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Namun kesiapan guru-guru untuk memberikan pendidikan masih jauh dari memadai. Mereka masih harus dibekali pengetahuan dan keterampilan mengenai autisme dan bagaimana mereka harus menghadapi anak-anak ini di sekolah. Juga harus mengetahui proses mengajar pada anak berkebutuhan khusus. Ketidaksiapan guru-guru ini menyebabkan sekolah sering menolak untuk menerima anak berkebutuhan khusus.

Sejauh ini, pemerintah baru akan mencanangkan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk penyandang autis. Menurut Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, pemerintah menargetkan 1000 sekolah khusus bagi penyandang autisme pada tahun 2014 dari sekitar 200 sekolah khusus yang ada saat ini.

Dalam penyelenggaraan pendidikan bagi individu autistik, terang Fasli, sekolah tidak hanya dapat mempersiapkan materi yang tepat, tetapi juga siap dalam menjembatani masalah hambatan komunikasi, dan penanganan masalah perilaku yang mungkin saja terjadi di sekolah. Pemerintah bahkan memberikan insentif khusus bagi sekolah umum yang bersedia menerima dan mendidik anak berkebutuhan khusus. "Pendidikan ini dimaksudkan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah umum bersama teman-teman lainnya yang normal," kata Fasli Jalal dalam acara Expo Peduli Autisme di Graha Sucofindo, pertengahan April lalu.

(18/11/2012, pukul 19.40 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar