Pendidikan anak tunadaksa erat kaitannya dengan pemahaman
masyarakat terhadap anak-anak cacat, demikian pula pada anak tunadaksa.
Anak-anak tunadaksa (cripple) pada zaman Renaissance pernah disebutnya sebagai
setan (satan) yang disejajarkan dengan makhluk jahat (evil) dan tidak pantas
untuk diberi hidup. Dengan demikian tidak ada artinya sama sekali keberadaan
anak-anak tunadaksa.
Dalam perkembangannya, perhatian masyarakat terhadap anak-anak
tunadaksa diawali dengan berdirinya rumah-rumah sakit yang menerima
pasien-pasien tunadaksa di Boston tahun 1862, yang kemudian menyebar ke
negara-negara lain.
Pada mulanya anak-anak cacat tersebut belum memperoleh
perhatian, tetapi lama-kelamaan mereka tidak dapat dibiarkan. Bersamaan itu
pula, di Indonesia terdapat penyakit poliomyelitis yang menyebabkan kecacatan
pada anak-anak, sedangkan lembaga yang menanganinya saat itu belum ada. Setelah
diadakan kampanye tentang kepedulian terhadap anak-anak cacat, akhirnya pada
tanggal 5 Pebruari 1953 berdirilah Yayasan sukarela di Solo yang bertujuan
memberikan perawatan kepada anak-anak cacat yang kemudian sekarag diberi nama
YPAC. Dan kemudian berdirilah YPAC cabang dan YPAC-YPAC di kota Jakarta.
Tujuan pendidikan anak
tunadaksa bersifat ganda (dual purpose),
yaitu yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan perkembangan
fungsi fisik, dan yang berkaitan dengan pendidikan.
Pendidikan untuk anak
tunadaksa pun tidak boleh melenceng dari rumusan tujuan pendidikan yang telah
digariskan. Oleh karena itu yang paling penting adalah bagaimana
menterjemahkannya dalam proses pembelajaran. Pada akhirnya mereka dapat dan
mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma lingkungan, mengembangkan kemampuan
dalam dunia kerja, dan bagi mereka yang mampu dapat meneruskan pendidikannya.
Yang dimaksud dengan mampu
menyesuaikan diri dengan norma-norma lingkungan yaitu dapat mengikuti
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, baik dalam tutur kata maupun
perbuatan sehingga menjadi warga masyarakat yang baik. Sudah barang tentu hal
ini tergantung dari kemampuan masing-masing individu anak tunadaksa. Semua itu
tidak lepas dari peran keluarga, masyarakat dan sekolah. Melalui pergaulan ini
mereka diharapkan mampu menempatkan dirinya sesuai dengan perannya sehingga
anak mempunyai bekal keterampilan yang apat dipergunakan untuk hidup di
tengah-tengah masyarakat, di samping perlu diperhatikan kondisi anak adalah
keterampilan tersebut dapat diantisipasi kebermanfaatannya bagi masyarakat
pemakai.
Salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam proses pendidikan anak tunadaksa adalah pemahaman diri anak
(self-understanding). Anak yang
memahami akan dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, kelemahan-kelemahan
yang melekat pada dirinya, akan lebih mudah membantu pengembangan diri anak.
Oleh karena itu, guru bersama-sama dengan orang tua perlu membantu anak-anak
tunadaksa memahami dirinya baik secara mikro maupun makro.
Pendidikan bagi anak
tunadaksa perlu juga dipersiapkan pendidikan lanjutan. Paket pendidikan ini
dimaksudkan untuk mereka yang memiliki kemampuan lebih. Oleh karena itu sasaran
pendidikannya adalah mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar sebagai bekal
pendidikan lanjutan.
(18/11/2012, pukul 19.11 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar