WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 18 November 2012

SEJARAH PENDIDIKAN TUNADAKSA

Pendidikan anak tunadaksa erat kaitannya dengan pemahaman masyarakat terhadap anak-anak cacat, demikian pula pada anak tunadaksa. Anak-anak tunadaksa (cripple) pada zaman Renaissance pernah disebutnya sebagai setan (satan) yang disejajarkan dengan makhluk jahat (evil) dan tidak pantas untuk diberi hidup. Dengan demikian tidak ada artinya sama sekali keberadaan anak-anak tunadaksa.
Dalam perkembangannya, perhatian masyarakat terhadap anak-anak tunadaksa diawali dengan berdirinya rumah-rumah sakit yang menerima pasien-pasien tunadaksa di Boston tahun 1862, yang kemudian menyebar ke negara-negara lain.
Pada mulanya anak-anak cacat tersebut belum memperoleh perhatian, tetapi lama-kelamaan mereka tidak dapat dibiarkan. Bersamaan itu pula, di Indonesia terdapat penyakit poliomyelitis yang menyebabkan kecacatan pada anak-anak, sedangkan lembaga yang menanganinya saat itu belum ada. Setelah diadakan kampanye tentang kepedulian terhadap anak-anak cacat, akhirnya pada tanggal 5 Pebruari 1953 berdirilah Yayasan sukarela di Solo yang bertujuan memberikan perawatan kepada anak-anak cacat yang kemudian sekarag diberi nama YPAC. Dan kemudian berdirilah YPAC cabang dan YPAC-YPAC di kota Jakarta.
Tujuan pendidikan anak tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan perkembangan fungsi fisik, dan yang berkaitan dengan pendidikan.
Pendidikan untuk anak tunadaksa pun tidak boleh melenceng dari rumusan tujuan pendidikan yang telah digariskan. Oleh karena itu yang paling penting adalah bagaimana menterjemahkannya dalam proses pembelajaran. Pada akhirnya mereka dapat dan mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma lingkungan, mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja, dan bagi mereka yang mampu dapat meneruskan pendidikannya.
Yang dimaksud dengan mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma lingkungan yaitu dapat mengikuti aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, baik dalam tutur kata maupun perbuatan sehingga menjadi warga masyarakat yang baik. Sudah barang tentu hal ini tergantung dari kemampuan masing-masing individu anak tunadaksa. Semua itu tidak lepas dari peran keluarga, masyarakat dan sekolah. Melalui pergaulan ini mereka diharapkan mampu menempatkan dirinya sesuai dengan perannya sehingga anak mempunyai bekal keterampilan yang apat dipergunakan untuk hidup di tengah-tengah masyarakat, di samping perlu diperhatikan kondisi anak adalah keterampilan tersebut dapat diantisipasi kebermanfaatannya bagi masyarakat pemakai.
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan anak tunadaksa adalah pemahaman diri anak (self-understanding). Anak yang memahami akan dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, kelemahan-kelemahan yang melekat pada dirinya, akan lebih mudah membantu pengembangan diri anak. Oleh karena itu, guru bersama-sama dengan orang tua perlu membantu anak-anak tunadaksa memahami dirinya baik secara mikro maupun makro.
Pendidikan bagi anak tunadaksa perlu juga dipersiapkan pendidikan lanjutan. Paket pendidikan ini dimaksudkan untuk mereka yang memiliki kemampuan lebih. Oleh karena itu sasaran pendidikannya adalah mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar sebagai bekal pendidikan lanjutan.
(18/11/2012, pukul 19.11 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar