1. Sejarah Umum pendidikan Anak Tunagrahita
Sejarah ortopedagogik (pendidikan) anak
tunagrahita merupakan sebagian sejarah dari pendidikana anak-anak berkelainan
pada umumnya, baik yang berkelainan jasmani maupun rohani/mental.
Di Eropa, perkembangan pendidikan anak
berkelainan termasuk anak tuna grahit dalam geris besarnya telah menjalani 3
periode ( Frampton and Gall,1955:4) :
a. Zaman primitive dan Purbakala
Pada zaman
prasejarah mereka dipandang tak ubahnya dengan “hewan”, dilenyapkan dari muka
bumi melalui hukum “the survival of the fittest”; karena tak sanggup mengatasi
kekerasan alam dan musnah.
Pada zamamn plato (427-347 SM), orang-orang Atena
senang sekali memperlakukan orang cacat sebagai bahan tontonan, bahkan sering
dibunuh.
Hukum Lycurgus adalah hukum yang membaharui
hukum lama di Sparta delapan abad sebelum masehi.
Hukum Yunani mendorong orang-orang membantu
para janda, yatim, buta, tuli, dan jompo. Dalam hokum ini orang-orang
berkelainan mendapat batasan kesempatan social, orang cacat dianggap berdosa
dan dijauhkan dari tempat ibadah.
c. Abad Pertengahan
c. Abad Pertengahan
Pada
abad pertengahan, sekte-sekte agama banyak yang memberikan pertolongan kepada
warga yang lemah tetapi para bangsawan membuat orang cacat menjadi bahan
tontonan.
b. Zaman
modern
Zaman modern ditandai semakin meluasnya usaha
pemeliharaan, pendidikan dan penelitian terhadap anak berkelainan. Pada tahun
1811 Napoleon memerintahkan untuk melakukan sensus bagi penderita cacat
mental(tuna grahita). Pada tahun 1816 didirikan oleh Gotthard Guggenmos yayasan
yang membuka sekolah pertama untuk anak tunagrahita di Wildberg, Wurtenberg di
bawah pimpinan Haldenwang. Sekolah ini ditutup pada tahun 1835 tanpa mencapai
hasil yang banyak.
Negara Swiss adalah negara pertama yang
memberikan pendidikan dan pengajaran anak tunagrahita.
Pada tahun 1841 didirikan institut Guggenbuhl.
Ia telah menciptakan prototype bagi
lembaga-lembaga yang merawat tunagrahita.
Hal ini menarik minat negara lain sehingga pada abad ke 19 berdirilah
berbagai institut untuk anak-anak tunagrahita di negara-negara eropa barat dan
amerika.
Dokter J.M.G Itart mendapat penghargaan dari akademi Ilmu
Pengetahuan Prancis dan mendapat gelar Bapak Pendidikan anak-anak tunagrahita.
Pengalaman-pengalaman Itart tersebut
ditulisnya dalam buku “anak liar dari Aveyron”. Karyanya menginspirasi Edward
Seguin untuk mendirikan “sekolah” pada institut Bicetre di Paris pada tahun
1837 dan berhasil dengan baik.
Seguin mempunyai pandangan yang sifatnya medis
dan melahirkan teori pendidikan yang dikenal dengan physiological training.
Menurut Teori ini, pendidikan anak tunagrahita harus menitik beratkan: latihan otot, koordinasi
mata dengan tangan, pendengaran, suara, danperhatian dan kemudian maju kepada
perkembangan gagasan yang umum pada akhirnya kepada berpikir abstrak dan
asas-asas moralitas. Teori ini banyak dikritik orang karena bersifat mekanistis
Pada tahun 1848 Seguin pindah ke Amerika
Serikat untuk memimpin berbagai lembaga anak tuna grahita dan menjadi peletak
dasar studi anak-anak tunagrahita di zaman modern. Lembaga pendidikan anak
tunagrahita yang pertama di Amerika serikat didirikan di Massachussetts pada
tahun 1848.
Pada akhir abad ke 19 bentuk layanan
pendidikan bagi anak berkelainan termasuk tunagrahita dari sistem segregasi di
sekolah-sekolah khusus pada munculnyakelas-kelas khusus di sekolah biasa . ini
upaya untuk menghindarkan isolasi anak-anak berkelainan.
Pada pertengahan abad 20, bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal dipertanyakan.
Diketahui bahwa pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus
mengalami perubahan dari masa kemasa. Konsep baru ini dimulai sejak tahun 1968
di Scandinavia,kemudian berkembang ke negara-negara lain.Pada tahun 1981, PBB
memasyarakatkan konsep baru ini dengan mencanangkan tahun itu sebagai tahun
penyandang cacat internasional.
2. Sejarah Pendidikan Anak Tuna Grahita di
Indonesia
Pendidikan anak tuna grahita di Indonesia ditinjau
dalam tiga fase:
a. Masa sebelum abad ke-20
Orang-orang
zaman dahulu percaya pada hal-hal yang bersifat supernatural. Menurut
kepercayaan ini segala sesuatu berlangsung menurut kehendak roh, kekuatan gaib,
dan para dewa.
Kedatangan agama islam dan nasrani membawa
ajaran baru kepada orang Indonesia, diantaranya:
1. Yang
mengatur segala sesuatu bukan roh, kekuatan gaib, atau para dewa melainkan
Tuhan Yang Maha Esa ( Alloh SWT )
2. Setiap
orang mempunyai kewajiban moral dan hendaklah menolong orang-orang yang lemah.
Pada zaman pemerintah Hindia-Belanda, Indonesia
mengenal dua jenis pendidikan yaitu :
1. Yang
diselenggarakan oleh pemerintah(Sekolah Negeri)
2. Yang
diselenggarakan oleh masyarakat(Sekolah Swasta)
Pendidikan di pesantren menganut 2 ciri yang
penting yaitu:
1. Beranggapan
bahwa setiap orang wajib belajar
2. Mempergunakan
tutor dalam melaksanakan prinsip individualisasi pengajaran.
Kedua prinsip pendidikan pesantern itu penting
bagi Pendidikan Anak Luar Biasa, karena pada prinsip pertama dinyatakan bahwa
setiap orang berhak mendapat pendidikan, termasuk penyandang cacat.
b. Masa
Sebelum Perang Dunia ke-2
Pada permulaan abad ke-20, pemerintah Hidia
Belanda membangun sekolah untuk anak-anak bumi putera. Selain itu juga
berkembang sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan oleh
Perkumpulan-perkumpulan atau yayasan misalnya
Sekolah Taman Siswa, sekolah-sekolah yang diselenggarakan organisasi keagamaan
misalnya Sekolah Muhamadiyah, Nahdatul Ulama, Natla’ul Anwar, Al Wasiyah dsb.
Badan yang pertama mengusahakan Pendidikan
Luar Biasa untuk Anak Tunagrahita di Indonesia ialah Perkumpulan Pengajaran
Luar Biasa” Vereniging voor Buitengewoon Lager
Onderwijs” didirikan tanggal 31 Mei 1927 atas inisiatif dr. A. Kits Van
Heiningen dan W. Akkersdijk, berkedudukan di Bandung.
c. Sesudah
Indonesia Merdeka
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
dinyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran”. Pada ayat 2
dinyatakan: Pemerintah mengusahak dan menyelenggarakan satu system pengajaran
nasional yang diatur dengan undang-undang.
Sebagai tindaklanjutnya pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan undang-undang nomor
4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah(UU
pokok pendidikan dan pengajaran nomor 12 tahun 1954). Dalam undang-undang
tersebut pada bab V pasal 6 ayat 2 dinyatakan “Pendidikan dan pengajaran luar
biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan.
Dari catatan sejarah, selama pemerintahan
Hindia Belanda dan pendudukan Jepang sampai tahun 1952 belum seorangpun bangsa
Indonesia yang mendapat pendidikan khusus untuk menjadi guru pendidikan bagi
anak-anak cacat termasuk menjadi guru pendidikan anak tuna grahita.
Pada Tahun 1952 dengan surat keputusan nomor
24954 tertanggal 26 juli 1952. Pemerintah Republik Indonesia membuka Sekolah
Guru Pengajaran Luar (SGPLB) yang
pertama di Bandung. Tamatan Sekolah Guru Pengajaran Luar Biasa (SGPLB) yang
pertama ini sebagian di tempatkan di Sekolah Rakyat Latihan Luar Biasa di
Bandung.. Kemudian SRLB dirubah menjadi SLB (Sekolah Luar Biasa).
Pada kondisi waktu itu SGLB membuka tiga
jurusan yaitu jurusan A untuk anak tunanetra, B untuk anak tunarungu, C untuk
anak tunagrahita. Kemudian berkembang menjadi SLB A untuk tunanetra, SLB B
untuk tunarungu, SLB C dan C1 Untuk tuna grahita ringan dan sedang.
Penjurusan SGPLB Sekolah Guru Pendidikan Luar
Biasa berkembang menjadi A,B,C,D,E. Jurusan D untuk anak tunadaksa dan E untuk
anak tunalaras. Demikian pula dengan SLB A,B,C kemudian menjadi SLB-A,SLB-B,
SLB-C, SLB-D, SLB-E dan SLB-G untuk cacat ganda.
sumber:
(18/11/2012, pukul 18.50 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar