- SEBELUM ABAD XIX
Sebelum
abad XIX, tunalaras sering disebut sebagai orang gila, mereka dianggap
kerasukan setan. Pada abad ini, anak-anak atau orang dewasa yang menunjukkan perilaku
menyimpang dihukum dengan cara yang sama seperti, ditelantarkan, disiksa,
ataupun dilukai sampai berdarah. Keadaan ini berlangsung sampai akhir abad XIX.
Seorang
dokter dari Perancis yang juga merupakan Psikiater pertama di dunia yaitu
Phiillipe Pinel menjadi orang pertama yang mempelopori penanganan Tunalaras.
Dengan pendekatan moral yang ditekankan pada perlakuan secara baik dan
pembicaraan dari hati ke hati, Pinel mencoba menangani pasien dengan penyakit
mental kronis akibat disekap dan disiksa di rumah sakit Bicetre.
Pada
akhir tahun 1700-an sampai 1800-an Pinel dan seorang dokter Perancis,Jean More
Garpard mencoba mendidik seorang anak yang bernama Victor. Itard mengajari
Victor dengan ketrampilan praktis termasuk berbicara. Namun, Victor hanya mampu
mengucapkan beberapa kata. Pada waktu yang bersamaan bapak Psikiater AS yaitu
Doctor Benjamin Rush mempelopori pengembangan pendidikan anak Tunalaras. Rush
menentang metode dalam bentuk kekerasan dan kekejaman sebagai upaya untuk
mengendalikan tingkah laku. Kemudian pendekatan ini dikenal sebagai terapi
moral yang sekarang banyak dipakai di tempat-tempat penampungan anak Tunalaras.
- ABAD XIX
Pada abad ini istilah
tunalaras mulai dikenal, muncul beberapa teori mengenai penyebab ketunalarasan,
ada upaya penanganan secara sistematik dan terbitnya buku-buku tentang
ketunalarasan.
Beberapa
Psikiater mulai mengidentifikasi beberapa penyebab Tunalaras yang sekarang menjadi
perhatian, seperti Parkinson dan West menyebut interaksi antara kondisi emosi
dengan pendidikan atau pola asuh, proteksi berlebihan (over protection), terlalu dimanja dan disiplin yang tidak
konsisten. Dengan demikian lingkungan anak sangat berpengaruh terhadap
munculnya perilaku ketunalarasan.
Pada
abad ini, remaja yang nakal, agresif, tidak patuh atau terlantar tetapi tidak
gila atau idiot mulai mendapat perhatian. Kemudian remaja dengan karakteristik
seperti disebut diatas dikenal dengan penyandang Tunalaras tingkat sedang.
Wajib
belajar pada abad XIX memungkinkan anak memperoleh pendidikan ataupun
penanganan di sekolah. Namun dengan di terapkannya pendidikan dengan system
klasikal menyulitkan bagi anak tunalaras, mereka tidak dapat secara aktif
berkontribusi dalam proses pembelajaran karena beberapa factor. Akibatnya tidak
sedikit dari mereka yang putus sekolah, dan menyebabkan anak-anak tunalaras kembali
turun ke lingkungan aslinya dengan berbagai bentuk kenakalan dan kejahatan.
- ABAD XX
Kemajuan
yang sangat pesat dalam kajian terhadap ketunalarasan terjadi pada abad XX.
Berbagai layanan pendidikan bagi anak tunalaras mulai dibuka, sejak tahun
1920an klinik bagi anak-anak bermasalah dibuka diberbagai universitas dan
sekolah. Dibandingkan dengan model lapangan yang diberikan oleh psikiater
sebelumnya, ada tiga hal yang baru, yaitu : 1) Adanya kerjasama antar disiplin
dalam penanganan anak. 2) Jenis tingkah laku yang ditangani tidak terbatas pada
tingkahlaku yang parah,tetapi juga tingkahlaku yang mengganggu guru dan
orang tua. 3) Perhatian juga diberikan tingkah hubungan antar individu dan
sikap orang dewasa yang mungkin berpengaruh pada anak.
Setelah
perang dunia II perhatian pada pendidikan anak tunalaras semakin besar. Pada
intinya, setelah perang dunia II muncullah konsep bahwa gangguan emosi dan
penyimpangan tingkahlaku merupakan katagori tersendiri dalam keluarbiasaan,
lepas dari retardasimental,. Berbagai sistem layanan bagi anak-anak inipun
muncul seperti klinik psikiater, kelas khusus, dan belakangan muncul setelah
khusus ( residential scliol ) bagi anak tunalaras tingkat berat.
Dikutip:
http://syahrudhy.blogspot.com/2012/03/perkembangan-tuna-laras.html
(18/11/2012, pukul 19.20 WIB)
Dikutip:
http://syahrudhy.blogspot.com/2012/03/perkembangan-tuna-laras.html
(18/11/2012, pukul 19.20 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar